Metronews.co.id - Komisaris Utama Garuda Indonesia Jusman Syafii Djamal mengatakan, akuisisi teknologi akan mendorong terciptanya kreativitas dan inovasi namun juga memunculkan perubahan struktural dan ketidakpastian dalam kehidupan, karena menyangkut produk baru, investasi, profit, suplai dan mekanisme pasar.
"Di sinilah muncul dua paradigma yang dianut Indonesia dan China. Indonesia memilih pola ‘technology driven’ yang dilaksanakan secara bertahap, sedangkan China menganut ‘market driven’ yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan," kata mantan Menteri Perhubungan itu, di hadapan Zhejiang University of Science and Technology dan di hadapan sekitar 400 civitas akademi perguruan tinggi tersebut. Jumat 4 Maret, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (5/3/2016).
Pada awalnya baik Indonesia dan China memiliki kesamaan orientasi dalam membangun teknologi majunya. Namun demikian dalam perjalanannya dan kebijakan yang diambil justru berbeda yang disebut "Indonesia ways" dan "China ways".
Jusman lebih jauh menceritakan latar belakang yang membuat China dan Indonesia berbeda style. China memulainya di era Deng Xiao Ping yang memilih untuk membangun daerah-daerah perkotaan (metropolitan) namun melengkapinya dengan menciptakan kawasan-kawasan khusus terpadu seperti industrial zone, areal komersial, kawasan perumahan serta industri pariwisata, dimana kebutuhan pasar dan teknologi bisa bertemu.
"China dengan cepat akhirnya memiliki kawasan-kawasan khusus seperti Guandong, Shenzen, dan Fujian dan berkembang menjadi kawasan untuk ekspor. Kawasan-kawasan tersebut memberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar. Proses akuisisi teknologi maju dilakukan melalui kebijakan dan mekanisme yang berlaku di pasar, " katanya.
Sedangkan Indonesia, katanya, mengawali akuisisi teknologi maju dengan langsung membangun pabrik perakitan elektronik hasil kerjasama dengan perusahaan asing untuk bisa dinikmati hasilnya. Baru kemudian berlanjut ke era pembangunan industri pesawat terbang di Bandung. Hal itu dimulai dengan modal lisensi dari CASA Spanyol dan Bell Helicopter serta Superpuma dari Perancis, baru kemudian mendisain sendiri pesawat turboprop N250.
Dalam pandangan Jusman, ide menjalankan akuisisi teknologi maju baik China dan Indonesia berawal dari fenomena formasi terbang burung angsa (Flying Geese) – formasi terbang berbentuk huruf “V” yang mampu memberikan daya dukung bagi seluruh kawanan agar dapat menempuh jarak terbang 71 persen lebih jauh ketimbang setiap angsa harus terbang sendiri-sendiri.
“Logika dari formasi terbang burung angsa adalah menekankan pentingnya mengelola pasar secara bertahap mulai dari tahapan nasional hinga ke tahap regional yang didukung sektor terkait lainnya dalam mengembangkan suatu industri maju. Kini, saatnya baik China dan Indonesia menciptakan landskap pembangunan ekonomi bersama dengan bisnis model baru, sekaligus membangun industri teknologinya,” kata Jusman.
Zhejiang University of Science and Technology merupakan universitas negeri di Hangzhou dengan 11 fakultas yaitu hukum, ekonomi, manajemen, filosofi, teknik, pertanian, pendidikan, kedokteran, sastra, seni, dan ilmu murni. Saat ini Zhejiang University of Science and Technology memiliki lebih dari 40 ribu mahasiswa (lebih dari 900 mahasiswa di antaranya merupakan international student) yang terbagi dalam 28.000 mahasiswa S1 dari 70 program studi, 8.500 mahasiswa S2 dari 115 program master, dan 600 mahasiswa S3 dari 32 program doktoral.
Sampai dengan saat ini, Zhejiang University of Science and Technology telah meraih sebanyak 33 penghargaan internasional dan 151 penghargaan nasional atas prestasi dalam berbagai perlombaan mahasiswa.
Di samping itu, Zhejiang University of Science and Technology juga secara aktif menjalin kerja sama antaruniversitas nasional maupun internasional, yang meliputi pertukaran mahasiswa, joint research, maupun pertukaran budaya. [OKZ]