Metronews.co.id - Batavia sampai akhir abad ke-18 merupakan kota berbenteng. Untuk itu, dibangun pintu gerbang yang terletak di dekat markas VOC di Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Karena, Gubernur Jenderal JP Coen membangun kota ini meniru Kota Amsterdam di negerinya. Pintu gerbang ini diberi nama Amsterdam Poort (Pintu Gerbang Amsterdam).
Seorang mayor artileri VOC Johannes Rach pada akhir abad ke-18 melukis pintu gerbang itu, yang kini tidak berbekas lagi. Di tengah-tengah, tampak pintu masuk gerbang dengan menara di atasnya terletak sebuah jam.
Pintu gerbang ini dihiasi dekorasi, termasuk dua patung Dewa Mars dan Dewa Nars, yang menurut mitologi Yunani masing-masing dewa perang dan dewa kebijaksanaan. Di kiri-kanannya, terdapat dua gedung bertingkat sebagai markas kavaleri VOC.
Eksekusi Mati Jadi Hiburan
Samar-samar di bagian kiri lukisan terlihat saat-saat menjelang eksekusi mati seorang penjahat atau orang yang dianggap membangkang terhadap VOC. Di sini, terdapat tiang gantungan untuk menjerat leher terdakwa atau memancungnya.
Inilah tempat eksekusi hukuman mati pertama yang kini letaknya di Kasteelwewg (Jalan Tongkol) dan Prince Street (Jalan Cengkeh) sebelum dipindahkan ke Stadhuis (Balai Kota) yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sekarang, pintu gerbang ini kira-kira berada di antara jalan kereta api dan jalan Tol Tanjung Priok-Cengkareng-Merak.
Sang pelukis menggambarkan, tiga orang budak yang dirantai bersusah payah sedang menarik sebuah tong besar. Kala itu, jumlah budak belian sangat banyak di Batavia.
Pada masa Gubernur Jenderal Van den Parra (1751-1775), Batavia mengimpor 4.000 budak. Pada 1788, di antara 134.328 penduduk Batavia dan sekitarnya (sampai Bogor), 30.520 adalah para budak.
Sementara, para pedagang memanfaatkan upacara eksekusi dengan membawa barang dagangannya. Ketika itu, hukuman gantung merupakan hiburan.
Batavia Kota Surga yang Abadi
Meski beberapa kali mengalami perubahan, gerbang Amsterdam sampai 1950-an masih terdapat di Pasar Ikan sebelum dihancurkan pada 1950-an untuk perluasan jalan.
Lukisan Rach ini memberikan kesan keindahan Batavia dengan pohon-pohon yang rindang berupa pohon palem dan kenari. Saat itu, penulis Belanda memberi sanjungan tentang Batavia sebagai "Kota Surga yang Abadi".
Pengembara asal Prancis bernama Francois Lequag menulis kesannya: Kota Batavia adalah kota yang penuh senyum simpul.
Saya tak melihat noda-noda di dinding rumah-rumah mewah dan cantik dicat putih, seperti melihat lautan salju. Tapi, setelah berubah menjadi "kota maut" akibat penyakit, hampir seluruh gedung dan rumah dihancurkan oleh Gubernur Jenderal Marsekal Daendels pada 1808-1811.
Dia pun memindahkan pusat kota ke Weltevreden yang kini kita kenal sebagai kawasan Pasar Baru dan Lapangan Banteng.
sumber : Republika